Monday, June 13, 2011

Mbah Maridjan dan Demerapisasi

Mbah Maridjan dan Demerapisasi
Nawa Murtiyanto, SIP

Hanya membawa arit dan uceng (tali bambu), bercelana pendek hitam dan kaos Golkar zaman Orde Baru, seorang lelaki sepuh setiap pagi naik ke Pethit Opak di lereng selatan G. Merapi untuk mencari ramban.

Aktivitas harian tersebut tidak lebih dan tidak bukan merupakan salah satu upaya Mbah Maridjan, untuk bertahan hidup di negara yang kondisinya belum mampu memberikan jaminan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Bertahan hidup, bagi Mbah Maridjan, bukan dimaknai “hari ni makan apa atau siapa” namun dimaknai sebagai “hari ini makan dengan siapa”. Dan dari sekian panjang perjalanan hidupnya, makna bertahan hidup bermuara pada pemahaman bahwa kehidupan manusia dan komponen lingkungan hidup di sekitarnya saling berhubungan, saling bergantung dan saling melengkapi. Bahwa manusia mengambil makanan dari alam dan alam membutuhkan manusia untuk menjaganya.
Konsep kehidupan manusia yang menyelaraskan dengan alam ala Mbah Maridjan, sudah terbukti secara de facto dengan terlestarikannya kondisi alam lereng selatan Merapi sekian puluh tahun. Terlepas dari jabatan informal dan wewenang sebagai salah satu tokoh sosial di masyarakat lereng selatan Merapi, Mbah Maridjan telah menjaga Merapi dengan segenap keyakinan, kepercayaan, pandangan, nilai, norma dan tabiat bathinnya yang kemudian diterjemahkan dalam mitos, simbol, dan ritus sosial budaya yang mengikat masyarakat di sekitar lereng selatan G. Merapi.
Mitos Kyai Petruk dan Ki Sapu Jagad merupakan sebagian rangkaian cerita dalam sistem kcpercayaan dari masa lalu hingga sekarang yang berlaku sebagai kebenaran transedental, kebenaran Illahi. Karena mitos berisikan pengalaman material dan spiritual yang dikembangkan menjadi pengetahuan sosial, maka bagi Mbah Maridjan, mitos menjadi pegangan hidup, kerangka acuan, pedoman dan berfungsi sebagai alat penyadar manusia akan adanya kekuatan-kekuatan gaib, untouchable power.
Alas Mbingungan, Alas Tutupan, Umbul Manten, Tuk Pitu dan Pethit Opak serta masih banyak lagi “tempat wingit” lainnya, merupakan sebagian bentuk simbolisasi Mbah Maridjan akan pemahaman “siapa” dan “apa” manusia dalam lingkup alam yang universal. Simbol merupakan sebuah hasil dari perenungan, hasil dari proses peleburan hubungan horisontal manusia dengan alam dan hubungan vertikal dengan Sang Khalik. Intensitas dan kualitas kesinergisan hubungan horisontal-vertikal memungkinkan munculnya pemikiran atau asumsi yang berbeda seiring perubahan zaman dan tingkat pemahaman manusia, namun pemaknaan fungsi “wilayah sakral” dan nafsu manusia tetap akan identik, tetap putih dan hitam.
“Keabsurdan” mitos dan simbol, oleh Mbah Maridjan disederhanakan dengan memilih – dan bukannya merubah – cara pandang terhadap Merapi sebagai sumber bencana menjadi sumber berkah bagi kehidupan manusia yang kemudian dimuarakan menjadi ritus sosial budaya Labuhan, Meteri Tuk, Bersih Desa dan sebagainya. Semua hal tersebut terangkum dalam pandangan yang menempatkan manusia sebagai bagian kecil dan sistem yang besar. yang terikat dan terjalin sedemikian rupa dalam kaitan fungsional dan terintegral dengan alam dan Sang Pencipta. Kalaupun ada ancaman bahaya letusan dan guguran lava, tidak semata-mata dipandang sebagai bencana dan masyarakat harus dipindahkan ke tempat lain, baik dengan cara relokasi ataupun transmigrasi. Namun bahaya Merapi dipandang sebagai takdir yang harus diterima, ataupun sebagai cobaan, peringatan Sang Pencipta terhadap tingkah laku yang serakah dan tak tahu diri.
Merapi sebagai sumber kehidupan, bagi Mbah Maridjan – sekali lagi: yang “hanya seorang” manusia — adalah teman yang harus diajak berkomunikasi dengan hahasa sederhana, jujur dan tidak berbelit-belit, dipelihara dengan segala daya pengetahuan dan pengalaman atas dasar kejujuran, dan dimanfaatkan dengan searif, sebijaksana alam Merapi memberi sumber penghidupan. Oleh sebab itu, harapan yang sudah dan akan dipetik adalah kawasan lereng selatan Merapi tetap menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dan – yang tak kalah pentingnya – mampu menopang kehidupan masyarakat luas di kawasan lain dengan memanfaatkan jasa lingkungan, minimal berupa air dan udara bersih. Jadi, pandangan Immanen Mbah Maridjan bukanlah sebuah keabsurdan dalam tataran konsep. atau sebuah kekonyolan yang sia-sia dalam aplikasinya dan juga bukan sebuah “kemurtadan” dalam kajian religiusnya.
“Status quo” Mbah Maridjan dan jasa lingkungan lereng selatan Merapi sepertinya mulai terusik oleh “kebijakan” pemerintah – yang sangat mungkin belum pernah mendaki G. Merapi, apalagi memahaminya – dalam bentuk SK Menbut No. 134/tahun 2004 tentang perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Tarnan Wisata Alam lereng selatan G. Merapi sebagai taman nasional dan rencana Proyek Sudetan Kali Boyong-Kali Kuning, serta akan terus terusik dengan disahkannya Perpu No. 1/tahun 2004 tentang legalitas penambangan di kawasan hutan lindung.
SK Menhut 134/tahun 2004 lebih menunjukkan sebuah arogansi kekuasaan negara dibandingkan menjalankan fungsinya sebagai administrator/pelayan publik dan juga mempertontonkan ketidakpahaman aparaturnya dalam pengelolaan lingkungan hidup Merapi. Perlu dipahami bahwa Merapi tidak hanya flora dan fauna, namun juga terdapat manusia dan komunitasnya, tanah, Alas Mbingungan, Umbul Temanten, Kyai Petruk, serta tak kalah pentingnya adalah hubungan antar komponen lingkungan hidup Merapi tersebut. Tujuan konservasi TNGM seolah hanya menjadi pembenaran bagi oknum penguasa untuk mengejar setoran upaya konservasi yang dituntut oleh dunia internasional. Pembenaran tersebut semakin salah kaprah ketika TNGM berubah fungsi menjadi media KKN antara penguasa dengan pemodal untuk meng-kapital-isasi Merapi.
Sudetan Kali Boyong-Kali Kuning, sekali tiga uang dengan TNGM, yang apabila dijalankan dengan etos kerja proyek akan menimbulkan dampak lingkungan yang luar biasa. Ditilik dari kepercayaan masyarakat setempat, sudetan akan mengganggu “jalan keluar Pasukan Merapi” dan “jalan masuk bala tentara Nyai Roro Kidul” di Kali Boyong serta akan sangat memungkinkan mengubur Kali Kuning dengan pasir yang berfungsi sebagai sumber kehidupan masyarakat luas, yaitu Umbul Temanten (Umbul Lanang dan Umbul Wadon). Alangkah kumalungkung (sangat sombong) manusia hingga berani merubah tatanan alam dan kehendak Sang Pencipta.
Ditilik dari analisa ekonomi sederhana, sudetan akan memberi peluang bagi pengusaha amoral untuk semakin merusak lingkungan Merapi dengan tersedianya lahan baru penambangan pasir di aliran Kali Kuning. Bukankah aktivitas penambangan di kawasan lindung sudah dilegalkan dengan Perpu No. 1/tahun 2004? Argumentasi dampak hancurnya kehidupan masyarakat luas dengan matinya sumber air Umbul Temanten tersisihkan oleh alasan pencegahan bencana banjir lahar dingin bagi masyarakat kota Yogyakarta. Hwarakadah, jika alasan pemerintah benar adanya, berarti masyarakat diberi pilihan yang sama bahanyanya. Memilih terkena banjir atau tidak mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari? Jawabannya, masyarakat akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk apa?
* * * * *
Ya, Mbah Maridjan akan berhadapan dengan negara; sesuatu yang telah diperjuangkan dan sekaligus yang akan menghimpitnya; Pandangan Immanen di Merapi akan dilibas dengan demerapisasi, kearifan lokal versus pembangunan. Yang bisa dipastikan, Mbah Maridjan memang akan (semakin) tertindas dan tergilas roda pembangunan. Namun Mbah Maridjan tetap akan menjadi bagian dari jiwa hutan Merapi, spirit of Merapi forest, tetap akan menjadi simbol budaya, simbol sosial, simbol nilai serta simbol hubungan tripartit yang selaras antara Sang Pencipta-manusia-alam, dan Mbah Maridjan merupakan personifikasi kearifan Merapi dan masyarakatnya. Laste but not the least, Mbah Maridjan akan menjadi gelar bagi setiap orang yang berpijak pada kebenaran dan kemanusiaan dalam mengelola hubungan dengan alam dan Sang Khalik. Semoga.
Nawa Murtiyanto, SIP
Staff Peneliti PKHR (Pusat Kajian Hutan Rakyat)
Fakultas Kehutanan UGM

Source: http://mountmerapi.net/2011/01/01/mbah-maridjan-dan-demerapisasi/#more-1142

Related Posts by Categories

No comments: